Sekretariat : jl. Alfalah I No. 9 Glugur Darat I Medan, Sumatera Utara/ JL Ir.H.Juanda No 1 Cempaka Putih Ciputat 15412, Telp.(021)7426723, Fax.(021)74714125, Jakarta

2011/02/06

14 February

Sejarah Valentine:

"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya." (QS. Al-Isro: 36)

Sungguh merupakan hal yang ironis(menyedihkan/tidak sepatutnya terjadi) apabila telinga kita mendengar bahkan kita sendiri 'terjun' dalam perayaan Valentine tersebut tanpa mengetahui sejarah Valentine itu sendiri.

Valentine sebenarnya adalah seorang martyr (dalam Islam disebut 'Syuhada') yang kerana kesalahan dan bersifat 'dermawan' maka dia diberi gelaran Saint atau Santo. Pada tanggal 14 Februari 270 M, St. Valentine dibunuh karena pertentangannya (pertelingkahan) dengan penguasa Romawi pada waktu itu iaitu Raja Claudius II (268 - 270 M). Untuk mengagungkan dia (St. Valentine), yang dianggap sebagai simbol ketabahan, keberanian dan kepasrahan dalam menghadapi cubaan hidup, maka para pengikutnya memperingati kematian St. Valentine sebagai 'upacara keagamaan'.

Tetapi sejak abad 16 M, 'upacara keagamaan' tersebut mulai beransur-ansur hilang dan berubah menjadi 'perayaan bukan keagamaan'. Hari Valentine kemudian dihubungkan dengan pesta jamuan kasih sayang bangsa Romawi kuno yang disebut “Supercalis” yang jatuh pada tanggal 15 Februari.

Setelah orang-orang Romawi itu masuk agama Nasrani(Kristian), pesta 'supercalis' kemudian dikaitkan dengan upacara kematian St. Valentine. Penerimaan upacara kematian St. Valentine sebagai 'hari kasih sayang' juga dikaitkan dengan kepercayaan orang Eropah bahwa waktu 'kasih sayang' itu mulai bersemi 'bagai burung jantan dan betina' pada tanggal 14 Februari.

Dalam bahasa Perancis Normandia, pada abad pertengahan terdapat kata “Galentine” yang bererti 'galant atau cinta'. Persamaan bunyi antara galentine dan valentine menyebabkan orang berfikir bahwa sebaiknya para pemuda dalam mencari pasangan hidupnya pada tanggal 14 Februari. Dengan berkembangnya zaman, seorang 'martyr' bernama St. Valentino mungkin akan terus bergeser jauh pengertiannya(jauh dari erti yang sebenarnya). Manusia pada zaman sekarang tidak lagi mengetahui dengan jelas asal usul hari Valentine. Di mana pada zaman sekarang ini orang mengenal Valentine lewat (melalui) greeting card, pesta persaudaraan, tukar kado(bertukar-tukar memberi hadiah) dan sebagainya tanpa ingin mengetahui latar belakang sejarahnya lebih dari 1700 tahun yang lalu.

Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa moment(hal/saat/waktu) ini hanyalah tidak lebih bercorak kepercayaan atau animisme belaka yang berusaha merosak 'akidah' muslim dan muslimah sekaligus memperkenalkan gaya hidup barat dengan kedok percintaan(bertopengkan percintaan), perjodohan dan kasih sayang.

Berkata Peguam Zulkifli Nordin (peguam di Malaysia) di dalam kaset 'MURTAD' yang mafhumnya :-

"VALENTINE" adalah nama seorang paderi. Namanya Pedro St. Valentino. 14 Februari 1492 adalah hari kejatuhan Kerajaan Islam Sepanyol. Paderi ini umumkan atau isytiharkan hari tersebut sebagai hari 'kasih sayang' kerana pada nya Islam adalah ZALIM!!! Tumbangnya Kerajaan Islam Sepanyol dirayakan sebagai Hari Valentine. Semoga Anda Semua Ambil Pengajaran!!! Jadi.. mengapa kita ingin menyambut Hari Valentine ini kerana hari itu adalah hari jatuhnya kerajaan Islam kita di Sepanyol..

Selengkapnya...

SYAIKH BIN BAZ DAN SEORANG PENCURI

Salah seorang murid Syaikh ‘Ibn Utsaimin rahimahullah menceritakan kisah ini kepadaku. Dia berkata: “Pada salah satu kajian Syaikh Utsaimin rahimahullah di Masjidil Haram, salah seorang murid beliau bertanya tentang sebuah masalah yang didalamnya ada syubhat, beserta pendapat dari Syaikh Bin Baz rahimahullah tentang masalah tersebut. Maka Syaikh Utsaimin menjawab pertanyaan penanya serta memuji Syaikh bin Baz rahimahullah. Di tengah-tengah mendengar kajian, tiba-tiba ada seorang lelaki dengan jarak kira-kira 30 orang dari arah sampingku kedua matanya mengalirkan air mata dengan deras, dan suara tangisannyapun keras hingga para muridpun mengetahuinya.

Di saat Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah selesai dari kajian, dan majelis sudah sepi aku melihat kepada pemuda yang tadi menangis. Ternyata dai dalam keadaan sedih, dan bersamanya sebuah mushhaf. Akupun lebih mendekat hingga kemudian aku bertanya kepadanya setelah kuucapkan salam: “Bagaimana kabarmu wahai akhi, apa yang membuatmu menangis?”

Maka diapun menjawab dengan bahasa yang mengharukan: “Jazakallahu khairan.” Akupun mengulangi pertanyaanku sekali lagi: “Apa yang membuatmu menangis akhi?” Diapun menjawab dengan tekanan suara yang haru: “Tidak ada apa-apa, sungguh aku telah ingat Syaikh bin Baz, maka akupun menangis.” Kini menjadi jelas bagiku dari penuturannya bahwa dia dari Pakistan, sedang dia mengenakan pakaian orang Saudi.

Dia meneruskan keterangannya: “Dulu aku mempunyai sebuah kisah bersama Syaikh bin Baz rahimahullah, yaitu sepuluh tahun yang lalu aku bekerja sebagai satpam pada salah satu pabrik batu bata di kota Thaif. Suatu ketika datang sebuah surat dari Pakistan kepadaku yang menyatakan bahwa ibuku dalam keadaan kritis, yang mengahruskan operasi untuk penanaman sebuah ginjal. Biaya operasi tersebut membutuhkan tujuh ribu Riyal Saudi (kurang lebih 17,5 juta Rupiah). Jika tidak segera dilaksanakan operasi dalam seminggu, bisa jadi dia akan meninggal. Sedangkan beliau sudah berusia lanjut.

Saat itu, aku tidak memiliki uang selian seribu Riyal, dan aku tidak mendapati orang yang mau memberi atau meminjami uang. Maka akupun meminta kepada perusahaan untuk memberiku pinjaman, Mereka menolak, Aku menangis sepanjang hari. Dia adalah ibu yang telah merawatku dan tidak tidur karena aku.

Pada situasi yang genting tersebut, aku memutuskan untuk mencuri pada salah satu rumah yang bersebelahan dengan perusahaan pada jam dua malam. Beberapa saat setelah aku melompati pagar rumah, aku tidak merasa apa-apa kecuali para polisi tengah menangkap dan melemparkanku ke mobil mereka. Setelah itu duniapun terasa menjadi gelap.

Tiba-tiba, sebelum shalat subuh para polisi mengembalikanku ke rumah yang telah kucuri. Mereka memasukkanku ke sebuah ruangan kemudian pergi. Tiba-tiba ada seorang pemuda yang menghidangkan makanan seraya berkata: “Makanlah, dengan membaca bismillah!” Aku pun tidak mempercayai apa yang tengah kualami. Saat adzan shalat subuh, mereka berkata kepadaku, “Wudhu’lah untuk shalat!” Saat itu rasa takut masih menyelimutiku. Tiba-tiba datang seorang lelaki yang sudah lanjut usia dipapah salah seorang pemuda masuk menemuiku. Kemudian dia memegang tanganku dan mengucapkan salam kepadaku seraya berkata: “Apakah engkau sudah makan?” Akupun menjawab: “Ya, sudah.” Kemudian dia memegang tangan kananku dan membawaku ke masjid bersamanya. Kami shalat subuh. Setelah itu aku melihat lelaki tua yang memegang tanganku tadi duduk di atas kursi di bagian depan masjid, sementara jama’ah shalat dan banyak murid mengitarinya. Kemudian syaikh tersebut memulai berbicara menyampaikan sebuah kajian kepada mereka. Maka akupun meletakkan tanganku di atas kepalaku karena malu dan takut.

Ya, Allah, apa yang telah aku lakukan? Aku telah mencuri di rumah Syaikh bin Baz rahimahullah. Sebelumnya aku telah mendengar nama beliau, dan beliau telah terkenal di negeri kami, Pakistan.

Setelah Syaikh bin Baz selesai dari kajian, mereka membawaku ke rumah sekali lagi. Syaikh pun memegang tanganku, dan kami sarapan pagi dengan dihadiri oleh banyak pemuda. Syaikh mendudukanku di sisi beliau. Di tengah makan beliau bertanya kepadaku: “Siapakah namamu?” Kujawab: “Murtadho.” Beliau bertanya lagi: “Mengapa engkau mencuri?” Maka aku ceritakan kisah ibuku. Beliau berkata: “Baik, kami akan memberimu 9000 Riyal.” Aku berkata kepada beliau: “Yang dibutuhkan Cuma 7000 Riyal.” Beliau menjawab: “Sisanya untukmu, tetapi jangan lagi mencuri wahai anakku.”

Aku mengambil uang tersebut, dan berterima kasih kepada beliau dan berdoa untuk beliau. Aku pergi ke Pakistan, lalu melakukan operasi untuk ibuku. Alhamdulillah, beliau sembuh. Lima bulan setelah itu, aku kembali ke Saudi, dan langsung mencari keberadaan Syaikh bin Baz rahimahullah. Aku pergi rumah beliau. Aku mengenali beliau dan beliaupun mengenali aku. Kemudian beliaupun bertanya tentang ibuku. Aku berikan 1500 Riyal kepada beliau, dan beliau bertanya, “Apa ini?” Kujawab: “Itu sisanya.” Maka beliau berkata: “Ini untukmu.” Kukatakan: “Wahai Syaikh, saya memiliki permohonan kepada anda.” Maka beliau menjawba: “Apa itu wahai anakku?” Kujawab: “Aku ingin bekerja pada anda sebagai pembantu atau apa saja, aku berharap dari anda wahai Syaikh, janganlah menolak permohonan saya, mudah-mudahan Alloh menjaga anda.” Maka beliau menjawab: “Baiklah.” Akupun bekerja di rumah Syaikh hingga wafat beliau.

Selang beberapa waktu dari pekerjaanku di rumah Syaikh, salah seorang pemuda yang mulazamah kepada beliau memberitahuku tentang kisahku ketika aku melompat ke rumah beliau hendak mencuri di rumah Syaikh. Dia berkata: “Sesungguhnya ketika engkau melompat ke dalam rumah, Syaikh bin Baz saat itu sedang shalat malam, dan beliau mendengar sebuah suara di luar rumah. Maka beliau menekan bel yang beliau gunakan untuk membangunkan keluarga untuk shalat fardhu saja. Maka mereka terbangun semua sebelum waktunya. Mereka merasa heran dengan hal ini. Maka beliau memberitahu bahwa beliau telah mendengar sebuah suara. Kemudian mereka memberi tahu salah seorang menjaga keamanan, lalu dia menghubungi polisi. Mereka datang dengan segera dan menangkapmu. Tatkala Syaikh mengetahui hal ini, beliau bertanya: “Kabar apa?” Mereka menjawab: “Seorang pencuri berusaha masuk, mereka sudah menangkap dan membawanya ke kepolisian.” Maka Syaikhpun berkata sambil marah: “Tidak, tidak, hadirkan dia sekarang dari kepolisian, dia tidak akan mencuri kecuali dia orang yang membutuhkan.”

Maka di sinilah kisah tersebut berakhir. Aku katakan kepada pemuda tersebut: “Sungguh matahari sudah terbit, seluruh umat ini terasa berat, dan menangisi perpisahan dengan beliau. Berdirilah sekarang, marilah kita shalat dua rakaat dan berdoa untuk Syaikh rahimahullah.

Mudah-mudahan Alloh merahmati Syaikh bin Baz dan Ibnu Utsaimin dan menempatkan keduanya di keluasan surga-Nya. Amiin.

Oleh: Syaikh Mamduh Farhan al Buhairi

Di kutip dari Majalah Qiblati edisi 02 tahun III (11-2007M / 10-1428H)


Selengkapnya...

2010/02/26

Kenapa Harus Maulid Nabi ???

Jika kita menyusuri dalam kitab tarikh (sejarah), perayaan Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak kita temukan pada masa sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, dan juga empat imam madzhab, padahal mereka adalah orang-orang yang paling mencintai dan mengagungkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Perlu diketahui pula bahwa –menurut pakar sejarah-, yang pertama kali mempelopori acara Maulid Nabi adalah Dinasti ‘Ubaidiyyun atau disebut juga Fatimiyyun (silsilah keturunan yang disandarkan pada Fatimah).

Asy-Syaikh Bakhit Al-Muti’iy, mufti negeri Mesir dalam kitabnya Ahsanul Kalam menyatakan bahwa yang pertama kali mengadakan enam perayaan maulid yaitu: perayaan Maulid (hari kelahiran) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Maulid Ali, Maulid Fatimah, Maulid Al-Hasan, Maulid Al-Husain radhiyallahu ‘anhum, dan Maulid Khalifah yang berkuasa saat itu, yaitu Al-Mu’izh Lidinillah (keturunan ‘Ubaidillah dari Dinasti Fatimiyyun) pada tahun 362 H.

Fatimiyyun yang Sebenarnya.

Ahmad bin Abdul Halim Al-Haroni Ad-Dimasyqi mengatakan “Perlu diketahui, para ulama telah sepakat bahwa Daulah Bani Umayyah, Bani Al-Abbas lebih dekat pada ajaran Allah dan Rasul-Nya, lebih berilmu, lebih unggul dalam keimanan daripada Daulah Fatimiyyun. Dua daulah tadi lebih sedikit berbuat bid’ah dan maksiat daripada Daulah Fatimiyyun…Daulah Fatimiyyun adalah di antara manusia yang paling fasik (banyak melakukan kemaksiatan) dan paling kufur.” (Majmu’ Fatawa, 35/127).

Seorang pakar sejarah yang bernama Al-Maqrizy juga menjelaskan bahwa begitu banyak perayaan yang dilakukan oleh Fatimiyyun dalams setahun. Beliau menyebutkan kurang lebih ada 25 perayaan. Bahkan lebih parah lagi, mereka juga merayakan perayaan hari raya orang-orang Majusi dan Nashrani, yaitu hari Nauruz (tahun baru Persia), hari Al-Ghottos, hari Milad (hari Natal). Ini pertanda bahwa mereka jauh dari Islam.

Al-Qadhi Abu Bakar Al-Baqillani dalam kitabnya yang menyingkap tirai Bani ‘Ubaidiyyun, beliau menyebutkan bahwa Bani Fatimiyyun adalah keturunan Majusi. Cara beragama mereka lebih parah daripada Yahudi dan Nashrani. Bahkan yang paling ekstrim di antara mereka mengklaim Ali sebagai ‘Ilah (tuhan). Sungguh Bani Fatimiyyun ini lebih kufur daripada Yahudi dan Nashrani (Lihat Al Bida’ Al Hauliyah)

Inilah sejarah sejarah kelam dari Maulid Nabi. Dari penjelasan di atas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa merayakan Maulid Nabi berarti telah mengikuti Daulah Fatimiyyun yang pertama kali memunculkan perayaan maulid. Dan ini berarti telah mengikuti tradisi orang-orang yang jauh dari Islam, dan telah menyerupai orang-orang yang fasik. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad dan Abu Daud).

Sikap Ahlu Sunnah Dalam Menyikapi Perayaan Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam

Muhammad bin ‘Abdus Salam Khodr Asy-Syuqairy mengatakan, “Bulan Rabiul Awal ini tidaklah dikhususkan dengan shalat, dzikir, ibadah, nafkah, atau sedekah tertentu. Bulan ini bukanlah bulan yang didalamnya terdapat hari besar Islam seperti berkumpul-kumpul dan adanya ‘Ied sebagaimana digariskan oleh syari’at…Bulan ini memang hari kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan sekaligus pula bulan ini adalah waktu wafatnya beliau. Bagaimana seseorang bersenang-senang dengan hari kelahiran sekaligus juga dengan hari kematiannya? Jika hari kelahiran beliau dijadikan perayaan, maka itu termasuk perayaan yang bid’ah munkar. Tidak ada dalam syari’at maupun dalam akal yang membenarkan hal ini.

Jika dalam maulid terdapat kebaikan, lalu mengapa perayaan ini tidak dilaksanakan oleh Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, dan sahabat lainnya? Tidak diragukan lagi bahwa perayaan yang diada-adakan ini adalah kelakuan orang-orang sufi, orang-orang yang serakah pada makanan, orang-orang yang gemar menyia-nyiakan waktu dengan permainan, dan pengagung bid’ah.

Lantas, faedah apa yang bisa diperoleh? Pahala apa yang bisa diraih dari penghamburan harta yang memberatkan? (As-Sunan wal Mubtada’at Al Muta’alliqah bil Adzkari wa Sholawat)
(kisahislam)

Selengkapnya...

2010/02/20

Liberalisasi Telah Masuk kampus

Oleh: Dr. Adian Husaini

Senin (4 january 2009), saya menemukan sebuah buku berjudul, jihad melawan ekstrim Agama, mwmbangkitkan islam progresif (terbit pertama Oktober 2009), penulisnya Susmanto Al Qurthuby. Buku ini merupakan kumpulan artikel yang salahsatunya diberi judula” Agama, seks dan Moral”.penulis buku ini adalah alumnus fakultas syari’ah IAIN Semarang yang sekarang sedang mengambil program Doktor di Boston University, AS, bidang antropolagi politik dan agama. Melalui artikel itulah, kita bisa menyimak secara jelas apa yang dimaksud dengan gagasan islam progresif, yang belakangan sering dilontarkan dan dianggap sebagai pemahaman islam yang seharusnya dianut umat islam.
Buku ini secara terang-terangan menghalalkan praktik seks bebas, yang penting dilakukan dengan suka rela, tanpa paksaan. Simaklah pendapat penulis tentang seks bebas perzinahan dan pelacuran: “lalu bagaimana hokum hubungan seks yang dilakukan atas dasar suka sama suka, “demokratis”, tidak ada pihak yang “ disubordinasi” dan “ diintimidasi”? atau bagaimana hukumm orang yang melakukan hubungan seks dengan pelacur (maaf kalau kata ini kurang sopan), dengan escort lady,call girl,dan sejenisnya? Atau hokum seorang perempuan, tante-tante, janda-janda, atau wanita kesepian yang menyewa gigolo untuk melampiaskan nafsu seks? Jika seorang dosen atau penulis boleh “menjual” otaknya untuk mendapatkan honor, mulut untuk mencari nafkah, atau penyanyi dangdut yang menjual pantat dan pinggul untuk mendapatkan uang, atau seorang penjahit atau pengrajin yang “menjual” tangan untuk menghidupi keluarga, apakah tidak boleh seorang laki-laki atau perempuan yang “menjual” alat kelaminnya untuk menghidupi anak, istri/suami mereka?”
Penulis juga mengecam MUI karena memperjuangkan UU pornografi dan pornoaksi. Katanya lebih lanjut: “Demikian juga kita masih meributkansoal kelamin-seperti yang dilakukan MUI yang ngotot memperjuangkan UU pornografi dan pornoaksi- itu juga sebagai pertanda rendahnya kualitas keimanan kita sekaligus rapuhnya fondasi spiritual kita. Sebaliknya, jika roh dan spiritualitas kita tangguh, maka apakah artinya segumpal daging bernama vagina dan penis itu. Apalah bedanya vagina dan penis itu dengan kuping, ketiak, hidung, tangan, dan organ tubuh yang lainnya. Agama semestinya “mengakomodasi” bukan “mengeksekusi” fakta keberagaman ekspresi sekssualitas masyarakat. Ingatlah bahwa dosa bukan karena “daging yang kotor” tetapi lantaran otak dan ruh kita yang penuh noda.”
Bagi kita yang muslim dan normal, pendapat seperti ini jelas amat sangat salah. Tentu kita patut bertanya, bagaimana seorang lulusan fakultas syari’ah bisa menjadi seperti itu? Kita yakin, paham itu tidak diajarkan dikampusnya. Mungkin dia mendapatkan dari luar kampus. Tetapi ketika menjadi mahasiswaFakultas Syari’ah IAIN semarang, ia pernah memimpin sebuah jurnal bernama justisia- yang terbit atas izin pimpinan Fakultas- yang isinya sangat anti Syari’at islam, termasuk secara terbuka menghalalkan perkawinan sesama jenis.
Mengapa jurnal yang dalam berbagai edisinya sangat melecehkan Al Quran dan syari’at islam bisa terbit dengan bebas di sebuah kampus yang menyandang nama islam? Ada yang menyatakan, bahwa yang semacam ini , hanya oknum saja. Tetapi, faktanya, oknum itu dibiarkan secara bebas menyebarkan opininya, juga menggunakan nama kampus. Ada yang menarik jika kita membaca sebuah buku berjudul: IAIN dan modernisasi islam di indinesia, (Jakarta:logos, 2002). buku ini diterbitkan atas kerjasama Canadian international development agency (CIDA) dan Direktorat pembinaan perguruan tinggi islam (Ditbinperta)Departemen Agama. Dalam buku ini dicerikan sejarah perubahan kampus IAIN, dari lembaga dakwah menjadi lembaga akademis:” Sebagai lembaga berafriliasi kepada agama, IAIN mulanya dimaknai sebagai lembaga dakwah islam yang bertanggung jawab terhadap syiar agama di masyarakat. Sehiingga orientasi kepentingan lebih difokuskan pada pertimbangan-pertimbangan dakwah. Tentu saja orientasi ini tidaklah keliru. Hanya saja, menjadikan IAIN sebagai lembaga dakwah pada dasarnya telah mengurangi peran yang semestinya lebih ditonjolkan, yaitu sebagai lembaga pendidikan tinggi islam. Karena IAIN sebagai lembaga akademis, maka tuntutan dan tanggung jawab yang dipikul IAIN adalah tanggung jawab akademis ilmiah.”(hal.x)
Menurut buku ini, kepulangan para dosen IAIN dari pusat-pusat study islam di barat telah mengubah metodologi dalam mempelajari islam, sebagaimana yang diajarkan guru-guru mereka (para orientalis) di barat. Metode itu sangat berbeda dengan metode belajar islam yang dikembangkan oleh para ulama islam di masa lalu. Disebutkan lebih lanjut:
“ salah satu yang menonjol adalah tradisi keilmuan yang dibawa pulang oleh kafilah IAIN (dan STAIN) dari sstudi mereka di McGill University secara khusus dan universitas-universitas lain di Barat secara umum. Berbeda dengan tradisi keilmuan yang dikembangkan oleh jaringan ulama yang mempunyai kecendrungan untuk mengikuti dan menyebarkan pemikiran ulama gurunya. tradisi keilmuan barat, kalau boleh dikatakan begitu, lebih membawa pulang metodologi maupun pendekatan dari sebuah pemikiran tertentu. Sehingga mereka justru bisa lebih kritis sekalipun terhadap pikiran professor-profesor mereka sendiri. Disamping aspek metodologis itu, pendekatan social empiris dalam studi agama juga dikembangkan.” (hal . xi).
Kemudian, sebagaimana diceritakan dalam buku ini pula, liberalisasi islam yang dimulai dari pasca sarjana UIN Jakarta- yang dipimpim oleh Prof. Harun Nasution – juga dikembangkan ke perguruan tinggi umum melalui dosen-dosen agama yang diberi kesempatan utuk mengambil S2 dan S3 di IAIN Jakarta. “ Dosen-dosen mata kuliah agama di perguruan tinggi umum dipersilahkan mengambil program S2 dan S3 di IAIN Jakarta, dimana Harun Nasution bertindak sebagai direktur. Dari sinilah kemudian paham islam rasional dan liberal yang dikembangkan Harun Nasution mulai berkembang juga di lingkungan perguruan tinggi umum.”(hal. 66)
Selengkapnya...

2010/02/14

Pluralisme Sang Perusak Aqidah

Dalam kamus inggris- Indonesia, plural artinya jamak alias lawan kata dari single yang berarti tunggal. Kalau ditambah akhiran –isme berarti menandakan suatu paham atau aliran. Pada intinya paham ini mengusung pemikiran batil bahwa jamaknya agama yang ada dimuka bumi ini adalah benar atau semua pemeluk agama apa saja bisa masuk surga. Paham ini sekaligus menolak kebenaran mutlak, dan lebih suka dengan paham kebenaran relatif atau nisbi.
Kemunculan paham pluralism berawal dari traumatis masyarakat barat ketika menghadapi hegemoni gereja, ketika doktrin eksklusivisme gereja menganggap bahwa di luar gereja tidak ada keselamatan, plus dengan adanya kejahatan dan kekejaman dari otoritas gereja. Mereka memburu serta membasmi siapa saja yang tidak setuju dengan doktrin gereja serta sangat berkuasadan memegang hegemoni politik. Maka sejak konsili vatikan II (1962-1965) Kristen (katolik) mengubah teologi eksklusif . trauma sejarah eropa terhadap ‘ organized religion’ Kristen itu menyebabkan pemeluk Kristen lebih memilih jalur sekuler, liberal, dan pluralisme teologi.

Pluralisme di Indinesia
Pluralisme di Indinesia berawal dari teologi inklusif yang diusung oleh Cak Nur (Nurcholis Majid), yakni gagasan perubahan konsep dari keyakinan mutlak menjadi keyakinan relative, akhirnya teologi tersebut dikembangkan lagi menjadi teologi pluralis yang meyakini bahwa semua agama sama benarnya. Sebagai contoh filsafat perennial yang membagi agama pada level esoterik (batin) dan eksoterik (lahir), yaitu satu agama berbeda dengan agama yang lain dalam level eksoterik, tetapi relative sama dalam level esoteriknya. Oleh karena itu ada istilah ‘ satu tuhan banyak jalan’, atau dalam filsafat rodanya Cak Nur ibarat pusat roda itu Tuhan sedangkan ruji-rujinya adalah jalan dan berbagai agama.
Simak tulisan Dr. Alwi Shihab dalam bukunya “ Islam Inklisif” menuju sikap terbuka dalam beragama : “ prinsip lain yang digariskan Al Quran adalah pengakuan eksistensi orang-orang yang berbuat baik dalam setiap komunitas beragama dan dengan begitu layak memperoleh pahala dari tuhan”. Untuk mengkampanyekan aqidak pluralis ini, para tokohnya mencari-cari ayat Al Quran dijadikan sebagai dalil untuk mengesahkan paham baru yang telah mereka yakini, diantaranya surat Ali Imraan ayat 19 dan 85, mereka berkata bahwa islam yang dimaksud dalam ayat ini adalah islam yang bermakna pasrah sepenuhnya kepada Allah  , maka barangsiapa yang mencari agama selain dari kepasrahan kepada-Nya, maka agama itu tidak akan diterima, dan di akhirat termasuk orang yang merugi. Maka dengan penafsiran akal ini mereka berpendapat bahwa yahudi, Kristen katolik, ahmadiyah, alias semua agama sama benar. Senada dengan penafsiran di atas adalah penafsiran surat Al Baqarah ayat 62 dan Al Maidah ayat 69 (yuks, yang pada intinya mereka menganggap bahwa dalam ayat ini Al quran tidak membeda-bedakan antara satu komunitas agama dari komunitas agama lainnya). Semua pendapat , anggapan dan penafsiran di atas merupakan ide-ide untuk memperkokoh pluralism keagamaan.
Pencerahan
Setiap muslim kudu percaya dan yakin kalau Al Quran itu Kalamulah, bukan produk budaya dan bukan pula makhluk, sehingga seorang yang telah berislam mestinya mempunyai kesimpulan yang sama bahwa ada kebenaran mutlak yang terdapat dalam Al quran dan As Sunnah, sebagaimana ketika Abdullah bin ‘Amru  berhenti menulis segala sesuatu yang keluar dari Nabi  karena dilarang oleh orang-orang quraisy, kerena menurut orang qurays bahwa nabi seperti halnya manusia ada saatnya marah dan ada saatnya ridho, maka Abdullah bin ‘Amru  lapor kepada Nabi  akan hal ini, maka Rasulullah  bersabda: “ tulislah, demi jiwaku yang berada di tangan-Nya ! tidaklah keluar dari mulutku ini kecuali Al haq (kebenaran mutlak)”.
Yuk, lihat surat Al Baqarah ayat 62 ! ayat ini turun berkenaan dengan sahabat-sahabat Salman (orang-orang Nashrani yang masih lurus sebelum diutusnya Nabi Muhammad  ). Salman bercerita kepada Nabi  bahwa mereka juga melakukan sholat, shoum dan mengimani serta bersaksi bahwa Rasulullah akan diutus sebagai Nabi. Pada mulanya Nabi  menjawab: “ wahai Salman, mereka termasuk ahli neraka”, jawaban Nabi  tersebut membuat Salman bersedih, kemudian turun ayat tersebut.(tafsir Ibnu Katsir jilid I).
Adapun keiman Yahudi adalah berpegang kepada Taurat dan mengikuti Musa as hingga datangnya Isa as, maka barangsiapa yang tetap berpegang dengan syari’at Musa setelah diutusnya Isa dan tidak mau mengikuti Musa, maka binasalah ia.
Adapun keimanan Nashrani adalah manakala mereka berpegang kepada Injil dan syari’at Isa sebelum diutusnya nabi Muhammad  . maka barangsiapa di antara mereka yang tidak mengikuti Muhammad  dan tidak mau meninggalkan syari’at Isa dan Injil setelah diutusnya Muhammad  , binasalah mereka. Maka setelah itu turunlah ayat 85 surat Ali Imran “ barangsiapa yang mencari agama selain agama islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi”.
Demikian jelas dan terang ayat-ayat yang menyatakan kekafiran ahli kitab dan pemeluk agama selain islam, hingga para ulama telah membuat suatu kesepakatan, barangsiapa yang tidak mengkafirkan orang-orang kafir, atau ragu akan kekafiran mereka, maka dia kafir.” Sesungguhnya orang-orang kafir, yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik akan masuk ke neraka jahannam, mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk” (QS. Al Bayyinah:6). Dan hadits shohih,” demi dzat yang jiwa Muhammad  ada di tangan-Nya, tiada seorang dari umat ini yang mendengar (agama )ku, baik dia itu seorang Yahudi maupun Nashrani, kemudian dia mati dalam keadaan tidak beriman dengan apa yang aku bawa dengannya, kecuali dia termasuk penghuni neraka”.(HR.Muslim).
Jadi, kalau pluralism berarti semua agama sama benar dan tidak ada kebenaran mutlak maka ini jelas-jelas gak sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah  , maka kalau ada seseorang yang dijuluki “ bapak pluralism” tentu dia tidak mau kalau dia mengerti arti pluralism dan paham serta mengamalkan ajaran islam sesuai dengan Al Quran dan As Sunnah menurut Rasulullah  .
Dan kalau memang semua agama sama benarnya maka dengan mudahnya seseorang akan panda dari Islam ke agama lain. Ingat sobat !!! untuk menjadi muslim tidak cukup hanya dengan memiliki KTP bersetatus “Islam” tapi perlu bersyahadat dan menjalankan syari’at-syari’at yang ada di dalamnya, sedangkan untuk keluar dari islam tidak perlu secara pormal menghapus kata “Islam” dari KTP, namun cukup dengan mengingkari satu ayat dalam Al Quran sudah mengeluarkan seseorang dari Islam walaupun KTP nya secara formal tertulis Islam. (MS)
Wallahu’alam bisshowab
Selengkapnya...

2010/02/13

Cinta Tanpa Harus Memiliki

Salman al farisi hendak meminang seorang putri dari kaum anshar untuk dijadikan istrinya, karena belum terbiasa dengan adat setempat (ia bukan orang asli Madinah-ed). Untuk urusan ini dia meminta bantuan Abu Darda’, sahabat yang telah dijadikannya saudara. Mereka berduapun menuju rumah putri yang dituju. Sesampainya di tempat tujuan Abu Darda’ memperkenalkan diri, “ saya Abu Darda’ dan ini saudara saya Salman seorang Persia. Allah telah memuliakan dia dengan islam dan dia juga telah memuliakan islam dengan amal dan jihadnya. Dia memiliki kedudukan yang utama disisi Rasulullah  , sampai-sampai beliau menyebutnya sebagai ahli baitnya. Saya datang untuk mewakili saudara saya ini melamar putri anda untuk dipersuntingnya”, fasih Abu Darda’ bicara dengan logat Bani Najjar yang paling murni.

Setelah terjadi perundingan tiba saatnya sang putri angkat bicara untuk menentukan apakah ia mau atau tidak untuk menerima tawaran Salman. Melalui ibunya sang putri tersebut memberikan jawaban yang sungguh mengagetkan, ternyata ia lebih memilih Abu Darda’ menjadi suaminya daripada Salman. Woow…. Sang putri ternyata lebih tertarik kepada pengantar daripada pelamarnya ! itu mengejutkan dan ironis. Bayangkan sebuah perasaan, dimana cinta dan persaudaraan bergejolak berebut tempat dalam hati. Namun bagaimana reaksi Salman ketika itu? “ Allahu Akbar”, seru Salman,” semua mahar dan nafkah yang kupersiapkan ini akan aku serahkan pada Abu Darda’, dan aku akan menjadi saksi pernikahan kalian !”
Sobat, barangkali inilah yang sering dikatakan orang bahwa cinta tak harus memiliki. Hiks…. Dan sejatinya kita memang tak pernah memiliki apapun dalam kehidupan ini. Salman mengajarkan kita untuk meraih kesadaran tinggi itu di tengah perasaan yang berkecamuk rumit; malu, kecewa, dan juga sedih. Ini tak mudah, sergapan rasa memiliki terkadang sangat memabukkan. Rasa memiliki seringkali membawa kelalaian. Maka menjadi seorang manusia yang hakikatnya hamba adalah belajar untuk menikmati sesuatu yang bukan milik kita,sekaligus mempertahankan kesadaran bahwa kita hanya dipinjami. Inilah sulitnya. Maka rasa memiliki kadang menjadi sulit ditepis. Kisah ini juga membuktikan bahwa mencintai tanpa harus memiliki benar adanya, dan hal ini hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang benar-benar paham tentang apa itu sejatinya.
Referensi: jalan cinta para pejuang.(Salim A. Fillah)
Selengkapnya...

Bahaya Pemikiran Liberal

sebenarnya masalah ini telah banyak disinggung oleh berbagai pihak yang berseberangan dengan paham ini, namun mengingat bahaya ini masih terus ada rasanya tidak salah kalau kita bincangkan di blog kita ini.
Liberalisme awal sebenarnya telah dimulai pada agama kristen yang berujung pada terbentuknya paham sekulerisme, paham ini ditimbulkan karena adanya pertentangan antara para negarawan (raja-raja dan bangsawan eropa)dan agamawan (diwakili oleh paus)diinggris konflik tajam antara raja dengan paus melahirkan aliran baru dalam sekte kristen yg dikenal dengan gereja anglikan.

Di jerman penentangan terhadap kuasa paus yang menerbitkan surat tanda pengampunan dosa memunculkan sekte protestan yang merupakan komunitas kristen terbesar didunia, pertentangan antara dua kelompok ini sangat sebelum tercapainya konsoliasi, namun saat ini konflik tersebut masih berlangsung di irlandia utara antara katholik berhadapan dengan anglikan inggris, ide awal pemikiran liberal dapat dikatakan berawal dari kritik kitab suci yang dilakukan oleh pakar-pakar theology untuk memisahkan antara perkataan asli yesus didalam bible yang ternyata hasilnya sangat mengejutkan dunia kekristenan metode yang diistilahkan dengan hermeunetika yang berasal dari nama tokoh dalam mytologi yunani bernama hermes seorang penerjemah bahasa dewa agar dapat dimengerti oleh manusia, hermeneutik memiliki metode- metode yang memang sangat tepat untuk menafsirkan bible namun sangat keliru jika digunakan untuk menafsirkan Al-Qur'an sebab peristiwa yg mendasarinya tidak sama, Al-Qur'an ditulis ketika rasulullah masih hidup sementara bible ditulis setelah beberapa tahun sejak kematian nabi isa, dan penulis biblepun bukan dari sahabat isa (hawariyyun).
para pengusung liberalis di Indonesia menganjurkan agar kita meniru apa yang telah dilakukan barat terhadap agamanya, mereka ini mengamini dan menjadi pembela setia setiap pemikiran yang berasal dari barat, bagi mereka barat sangat objektive,ilmiah dan metodologi mereka sangat baik untuk ditiru, pendek kata bagi kelompok ini barat adalah diatas segala-galanya dan warisan dari Islam dianggap sudah ketinggalan zaman, mereka inilah perusak dan penghancur Islam dari dalam, orang-orang ini senang dengan segala publisitas dan fasilitas yang didapatkan walaupun dengan melacurkan diri.dapat dikatakan mereka ini ibarat anjing yang menuruti perintah tuannya, peristiwa yang telah berlangsung dinegeri kita telah memperlihatkan jati diri mereka, mereka ikut memperburuk citra Islam dengan pendapat-pendapatnya yang banyak dikutip oleh pers yang kebetulan dikuasai orang-orang sekuler, tidak mengherankan kalau mereka membela pengikut ahmadiyah, menyetujui pornografi dan hal-hal lainnya, jika mereka melihat Islam atau kelompok Islam menentang suatu ide yang merusak maka dengan serta merta mereka akan menjadi lawan bagi kelompok tersebut.cukup banyak tulisan yang mengupas keberadaan dan bahaya kelompok ini, karenanya saya menganjurkan teman-teman untuk membaca buku-buku tersebut, dan kepada teman-teman yang lain mungkin bisa membagi ilmunya dengan membuat tulisan ringkas tentang hermeunitik untuk lebih dapat memahami liberalisme bagi alumni kita yang mungkin masih sedikit mendapat informasi.
(Rahmat Syukri Dzurrasyid,Alumni 99) Selengkapnya...