Sekretariat : jl. Alfalah I No. 9 Glugur Darat I Medan, Sumatera Utara/ JL Ir.H.Juanda No 1 Cempaka Putih Ciputat 15412, Telp.(021)7426723, Fax.(021)74714125, Jakarta

2010/02/20

Liberalisasi Telah Masuk kampus

Oleh: Dr. Adian Husaini

Senin (4 january 2009), saya menemukan sebuah buku berjudul, jihad melawan ekstrim Agama, mwmbangkitkan islam progresif (terbit pertama Oktober 2009), penulisnya Susmanto Al Qurthuby. Buku ini merupakan kumpulan artikel yang salahsatunya diberi judula” Agama, seks dan Moral”.penulis buku ini adalah alumnus fakultas syari’ah IAIN Semarang yang sekarang sedang mengambil program Doktor di Boston University, AS, bidang antropolagi politik dan agama. Melalui artikel itulah, kita bisa menyimak secara jelas apa yang dimaksud dengan gagasan islam progresif, yang belakangan sering dilontarkan dan dianggap sebagai pemahaman islam yang seharusnya dianut umat islam.
Buku ini secara terang-terangan menghalalkan praktik seks bebas, yang penting dilakukan dengan suka rela, tanpa paksaan. Simaklah pendapat penulis tentang seks bebas perzinahan dan pelacuran: “lalu bagaimana hokum hubungan seks yang dilakukan atas dasar suka sama suka, “demokratis”, tidak ada pihak yang “ disubordinasi” dan “ diintimidasi”? atau bagaimana hukumm orang yang melakukan hubungan seks dengan pelacur (maaf kalau kata ini kurang sopan), dengan escort lady,call girl,dan sejenisnya? Atau hokum seorang perempuan, tante-tante, janda-janda, atau wanita kesepian yang menyewa gigolo untuk melampiaskan nafsu seks? Jika seorang dosen atau penulis boleh “menjual” otaknya untuk mendapatkan honor, mulut untuk mencari nafkah, atau penyanyi dangdut yang menjual pantat dan pinggul untuk mendapatkan uang, atau seorang penjahit atau pengrajin yang “menjual” tangan untuk menghidupi keluarga, apakah tidak boleh seorang laki-laki atau perempuan yang “menjual” alat kelaminnya untuk menghidupi anak, istri/suami mereka?”
Penulis juga mengecam MUI karena memperjuangkan UU pornografi dan pornoaksi. Katanya lebih lanjut: “Demikian juga kita masih meributkansoal kelamin-seperti yang dilakukan MUI yang ngotot memperjuangkan UU pornografi dan pornoaksi- itu juga sebagai pertanda rendahnya kualitas keimanan kita sekaligus rapuhnya fondasi spiritual kita. Sebaliknya, jika roh dan spiritualitas kita tangguh, maka apakah artinya segumpal daging bernama vagina dan penis itu. Apalah bedanya vagina dan penis itu dengan kuping, ketiak, hidung, tangan, dan organ tubuh yang lainnya. Agama semestinya “mengakomodasi” bukan “mengeksekusi” fakta keberagaman ekspresi sekssualitas masyarakat. Ingatlah bahwa dosa bukan karena “daging yang kotor” tetapi lantaran otak dan ruh kita yang penuh noda.”
Bagi kita yang muslim dan normal, pendapat seperti ini jelas amat sangat salah. Tentu kita patut bertanya, bagaimana seorang lulusan fakultas syari’ah bisa menjadi seperti itu? Kita yakin, paham itu tidak diajarkan dikampusnya. Mungkin dia mendapatkan dari luar kampus. Tetapi ketika menjadi mahasiswaFakultas Syari’ah IAIN semarang, ia pernah memimpin sebuah jurnal bernama justisia- yang terbit atas izin pimpinan Fakultas- yang isinya sangat anti Syari’at islam, termasuk secara terbuka menghalalkan perkawinan sesama jenis.
Mengapa jurnal yang dalam berbagai edisinya sangat melecehkan Al Quran dan syari’at islam bisa terbit dengan bebas di sebuah kampus yang menyandang nama islam? Ada yang menyatakan, bahwa yang semacam ini , hanya oknum saja. Tetapi, faktanya, oknum itu dibiarkan secara bebas menyebarkan opininya, juga menggunakan nama kampus. Ada yang menarik jika kita membaca sebuah buku berjudul: IAIN dan modernisasi islam di indinesia, (Jakarta:logos, 2002). buku ini diterbitkan atas kerjasama Canadian international development agency (CIDA) dan Direktorat pembinaan perguruan tinggi islam (Ditbinperta)Departemen Agama. Dalam buku ini dicerikan sejarah perubahan kampus IAIN, dari lembaga dakwah menjadi lembaga akademis:” Sebagai lembaga berafriliasi kepada agama, IAIN mulanya dimaknai sebagai lembaga dakwah islam yang bertanggung jawab terhadap syiar agama di masyarakat. Sehiingga orientasi kepentingan lebih difokuskan pada pertimbangan-pertimbangan dakwah. Tentu saja orientasi ini tidaklah keliru. Hanya saja, menjadikan IAIN sebagai lembaga dakwah pada dasarnya telah mengurangi peran yang semestinya lebih ditonjolkan, yaitu sebagai lembaga pendidikan tinggi islam. Karena IAIN sebagai lembaga akademis, maka tuntutan dan tanggung jawab yang dipikul IAIN adalah tanggung jawab akademis ilmiah.”(hal.x)
Menurut buku ini, kepulangan para dosen IAIN dari pusat-pusat study islam di barat telah mengubah metodologi dalam mempelajari islam, sebagaimana yang diajarkan guru-guru mereka (para orientalis) di barat. Metode itu sangat berbeda dengan metode belajar islam yang dikembangkan oleh para ulama islam di masa lalu. Disebutkan lebih lanjut:
“ salah satu yang menonjol adalah tradisi keilmuan yang dibawa pulang oleh kafilah IAIN (dan STAIN) dari sstudi mereka di McGill University secara khusus dan universitas-universitas lain di Barat secara umum. Berbeda dengan tradisi keilmuan yang dikembangkan oleh jaringan ulama yang mempunyai kecendrungan untuk mengikuti dan menyebarkan pemikiran ulama gurunya. tradisi keilmuan barat, kalau boleh dikatakan begitu, lebih membawa pulang metodologi maupun pendekatan dari sebuah pemikiran tertentu. Sehingga mereka justru bisa lebih kritis sekalipun terhadap pikiran professor-profesor mereka sendiri. Disamping aspek metodologis itu, pendekatan social empiris dalam studi agama juga dikembangkan.” (hal . xi).
Kemudian, sebagaimana diceritakan dalam buku ini pula, liberalisasi islam yang dimulai dari pasca sarjana UIN Jakarta- yang dipimpim oleh Prof. Harun Nasution – juga dikembangkan ke perguruan tinggi umum melalui dosen-dosen agama yang diberi kesempatan utuk mengambil S2 dan S3 di IAIN Jakarta. “ Dosen-dosen mata kuliah agama di perguruan tinggi umum dipersilahkan mengambil program S2 dan S3 di IAIN Jakarta, dimana Harun Nasution bertindak sebagai direktur. Dari sinilah kemudian paham islam rasional dan liberal yang dikembangkan Harun Nasution mulai berkembang juga di lingkungan perguruan tinggi umum.”(hal. 66)

0 komentar: